Minggu, 16 Oktober 2011

Pembelajaran Matematika


Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional mendefinisikan “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar“. Dalam definisi lain oleh Association for Education Communication and Technology (AECT) (1986:195), pembelajaran dipandang sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Bila metode penyelesaian soal secara sistematis dilaihkan secara terus menerus, maka ketika berhadapan dengan soal, siswa dengan cepat dapat mengidentifikasi konsep apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut dan rumus mana yang terkait dengan konsep tersebut (Heller, Keith, & Handerson, 1992) Dari definisi di atas  dapat disimpulkan bahwa pembelajaran di  sekolah pada dasarnya adalah proses penciptaan atau pengkondisian sebuah lingkungan sekolah atau kelas yang memungkinkan siswa belajar.   
Dalam sebuah penciptaan dan pengondisian yang ada di kelas, warga kelas memiliki kendali terhadap penciptaan tersebut dan guru menjadi pendesainnya. Dalam pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan pendekatan atau model pembelajaran tertentu. Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1995:124) mendefinisikan “pendekatan pembelajaran sebagai jalan yang digunakan oleh guru atau pembelajar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa belajar“. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Ismail (2003:8) menurutnya apabila dilihat dari sudut bagaimana proses atau materi pembelajaran dikelola maka pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam ruang lingkup kelas, pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh guru dan siswa untuk menciptakan atau mengondisikan suasana kelas yang memungkinkan adanya proses atau interaksi belajar mengajar. Dalam hal ini seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di kelas, karena tugas guru adalah mendesain termasuk memilih pendekatan atau model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengendalikan pembelajaran dalam kelas sehingga tercipta suasana kelas dan suasana pembelajaran yang kondusif dan terkondisi untuk belajar.
Kaitannya dengan makna belajar dan hasilnya, Winkel (1996:53) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan serta sikap dan perubahan ini bersifat relatif konstan dan berbekas. Dengan pengertian lain bahwa sebuah hasil belajar siswa ditentukan oleh sejauh mana siswa terlibat secara mental dalam kegiatan belajar. Keterlibatan ini diartikan sampai sejauh mana kedekatan siswa dengan objek belajar. Silberman (2006:27) mengatakan “belajar memerlukan kedekatan dengan materi yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahami“. Masing-masing cara dalam penyajian konsep akan menentukan pemahaman siswa sehingga jika kedekatan materi belajar terjadi pada siswa maka siswa akan merasakan adanya keterlibatan mental. Dengan kata lain bahwa pendekatan atau model pembelajaran yang digunakan guru menentukan sampai sejauh mana keterlibatan siswa secara mental dalam proses belajar. Pendekatan dan proses pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan atau isi dari suatu pengalaman yang diperoleh siswa terkait dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan. Hal ini berarti pendekatan atau model pembelajaran merupakan faktor dominan dalam menentukan hasil belajar siswa yang berupa prestasi belajar.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pendekatan atau model yang digunakan dalam suatu pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan pengalaman yang dapat diperoleh siswa, karenanya pendekatan atau model pembelajaran harus sedemikian rupa dirancang hingga memuat semua dimensi belajar. Marzano, Pickering, dan McTighe dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1995:11) menyatakan bahwa peristiwa belajar sebagai proses yang saling berkaitan antara lima dimensi, yaitu (a) dimensi pertama adalah sikap dan persepsi yang positif mengenai belajar, (b) dimensi kedua adalah memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (c) dimensi ketiga adalah memperluas dan memperbaiki pengetahuan, (d) dimensi keempat adalah menggunakan pengetahuan secara bermakna, dan (e) dimensi kelima adalah kebiasaan yang produktif dari pikirannya.
Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan, baik melalui pengembangan mutu tenaga pengajar, penyelenggaraan pendidikan, serta pembangunan berbagai fasilitas penunjang proses pendidikan. Upaya-upaya tersebut ternyata belum menghasilkan perubahan secara nyata (Liliasari : 2009). Oleh karena itu masih perlu upaya dilakukannya pengembangan model Berdasarkan paparan pendapat di atas maka desain dari pendekatan atau model pembelajaran matematika harus berorientasi pada upaya bagi siswa untuk: (a) memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan matematika, (b) memperluas, membangun dan memperbaiki pengetahuan matematika yang dimiliki, (c) membangun sikap dan persepsi positif terhadap belajar dan terhadap matematika sebagai obyek belajar, (d) membangun kebiasaan berpikir produktif. Selain berorientasi pada tujuan, desain pendekatan pembelajaran harus mengacu pada obyek atau materi pembelajarannya. Matematika sekolah yang selanjutnya disebut matematika merupakan pelajaran di sekolah yang memuat materi dengan karakteristik yang khas. Ditinjau dari sudut pandang matematika sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Maier (1985:8-9) mengemukakan empat konsepsi: (1) Matematika berorientasi formalis, (2) Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya, (3) Heuristik yaitu sistem pelajarnya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri dalam pelajaran matematika, dan (4) Matematika sebagai perkakas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ebbutt dan Straker dalam Depdiknas (2006: 3-6) mendefinisikan matematika sebagai berikut: (a) Matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan, (b) Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, (c) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), dan (d) Matematika sebagai alat berkomunikasi. Sedangkan materi pelajaran matematika diklasifikasikan sebagai berikut: (a) fakta (facts), (b) pengertian (concepts), (c) keterampilan penalaran, (d) keterampilan algoritmik, (e) keterampilan menyelesaikan masalah matematika (problem solving), dan (f) keterampilan melakukan penyelidikan (investigation)Pembelajaran Matematika
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional mendefinisikan “pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar“. Dalam definisi lain oleh Association for Education Communication and Technology (AECT) (1986:195), pembelajaran dipandang sebagai suatu proses dimana lingkungan seseorang secara sengaja dikelola untuk memungkinkan ia turut serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi-kondisi khusus atau menghasilkan respons terhadap situasi tertentu. Bila metode penyelesaian soal secara sistematis dilaihkan secara terus menerus, maka ketika berhadapan dengan soal, siswa dengan cepat dapat mengidentifikasi konsep apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut dan rumus mana yang terkait dengan konsep tersebut (Heller, Keith, & Handerson, 1992) Dari definisi di atas  dapat disimpulkan bahwa pembelajaran di  sekolah pada dasarnya adalah proses penciptaan atau pengkondisian sebuah lingkungan sekolah atau kelas yang memungkinkan siswa belajar.   
Dalam sebuah penciptaan dan pengondisian yang ada di kelas, warga kelas memiliki kendali terhadap penciptaan tersebut dan guru menjadi pendesainnya. Dalam pengendalian kondisi tersebut guru menggunakan pendekatan atau model pembelajaran tertentu. Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1995:124) mendefinisikan “pendekatan pembelajaran sebagai jalan yang digunakan oleh guru atau pembelajar untuk menciptakan suasana yang memungkinkan siswa belajar“. Pendapat yang serupa dikemukakan oleh Ismail (2003:8) menurutnya apabila dilihat dari sudut bagaimana proses atau materi pembelajaran dikelola maka pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan, cara, atau kebijaksanaan yang ditempuh guru atau siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam ruang lingkup kelas, pendekatan pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh guru dan siswa untuk menciptakan atau mengondisikan suasana kelas yang memungkinkan adanya proses atau interaksi belajar mengajar. Dalam hal ini seorang guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di kelas, karena tugas guru adalah mendesain termasuk memilih pendekatan atau model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengendalikan pembelajaran dalam kelas sehingga tercipta suasana kelas dan suasana pembelajaran yang kondusif dan terkondisi untuk belajar.
Kaitannya dengan makna belajar dan hasilnya, Winkel (1996:53) menyatakan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan serta sikap dan perubahan ini bersifat relatif konstan dan berbekas. Dengan pengertian lain bahwa sebuah hasil belajar siswa ditentukan oleh sejauh mana siswa terlibat secara mental dalam kegiatan belajar. Keterlibatan ini diartikan sampai sejauh mana kedekatan siswa dengan objek belajar. Silberman (2006:27) mengatakan “belajar memerlukan kedekatan dengan materi yang hendak dipelajari, jauh sebelum bisa memahami“. Masing-masing cara dalam penyajian konsep akan menentukan pemahaman siswa sehingga jika kedekatan materi belajar terjadi pada siswa maka siswa akan merasakan adanya keterlibatan mental. Dengan kata lain bahwa pendekatan atau model pembelajaran yang digunakan guru menentukan sampai sejauh mana keterlibatan siswa secara mental dalam proses belajar. Pendekatan dan proses pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan atau isi dari suatu pengalaman yang diperoleh siswa terkait dengan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diharapkan. Hal ini berarti pendekatan atau model pembelajaran merupakan faktor dominan dalam menentukan hasil belajar siswa yang berupa prestasi belajar.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pendekatan atau model yang digunakan dalam suatu pembelajaran menentukan seberapa banyak muatan pengalaman yang dapat diperoleh siswa, karenanya pendekatan atau model pembelajaran harus sedemikian rupa dirancang hingga memuat semua dimensi belajar. Marzano, Pickering, dan McTighe dalam Udin S. Winataputra dan Tita Rosita (1995:11) menyatakan bahwa peristiwa belajar sebagai proses yang saling berkaitan antara lima dimensi, yaitu (a) dimensi pertama adalah sikap dan persepsi yang positif mengenai belajar, (b) dimensi kedua adalah memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan, (c) dimensi ketiga adalah memperluas dan memperbaiki pengetahuan, (d) dimensi keempat adalah menggunakan pengetahuan secara bermakna, dan (e) dimensi kelima adalah kebiasaan yang produktif dari pikirannya.
Upaya peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan, baik melalui pengembangan mutu tenaga pengajar, penyelenggaraan pendidikan, serta pembangunan berbagai fasilitas penunjang proses pendidikan. Upaya-upaya tersebut ternyata belum menghasilkan perubahan secara nyata (Liliasari : 2009). Oleh karena itu masih perlu upaya dilakukannya pengembangan model Berdasarkan paparan pendapat di atas maka desain dari pendekatan atau model pembelajaran matematika harus berorientasi pada upaya bagi siswa untuk: (a) memperoleh dan mengintegrasikan pengetahuan matematika, (b) memperluas, membangun dan memperbaiki pengetahuan matematika yang dimiliki, (c) membangun sikap dan persepsi positif terhadap belajar dan terhadap matematika sebagai obyek belajar, (d) membangun kebiasaan berpikir produktif. Selain berorientasi pada tujuan, desain pendekatan pembelajaran harus mengacu pada obyek atau materi pembelajarannya. Matematika sekolah yang selanjutnya disebut matematika merupakan pelajaran di sekolah yang memuat materi dengan karakteristik yang khas. Ditinjau dari sudut pandang matematika sebagai pelajaran, Demuth dalam Herman Maier (1985:8-9) mengemukakan empat konsepsi: (1) Matematika berorientasi formalis, (2) Matematika berorientasi pada dunia sekelilingnya, (3) Heuristik yaitu sistem pelajarnya dilatih untuk menemukan sesuatu secara mandiri dalam pelajaran matematika, dan (4) Matematika sebagai perkakas. Sejalan dengan pendapat tersebut, Ebbutt dan Straker dalam Depdiknas (2006: 3-6) mendefinisikan matematika sebagai berikut: (a) Matematika sebagai penelusuran pola dan hubungan, (b) Matematika sebagai kreativitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan, (c) Matematika sebagai kegiatan pemecahan masalah (problem solving), dan (d) Matematika sebagai alat berkomunikasi. Sedangkan materi pelajaran matematika diklasifikasikan sebagai berikut: (a) fakta (facts), (b) pengertian (concepts), (c) keterampilan penalaran, (d) keterampilan algoritmik, (e) keterampilan menyelesaikan masalah matematika (problem solving), dan (f) keterampilan melakukan penyelidikan (investigation)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar